Wadek II FD Dorong Mahasiswa Produksi Film Budaya Daerah
JAKARTA, MEDICEN FADA – Wakil Dekan II Fakultas Dakwah (Wadek II FD) UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Dr. Hj. Siti Raudhatul Jannah, S.Ag, M.Med.Kom membawa pesan baru untuk civitas akademika kampus. Khususnya para komunitas perfilman di kalangan mahasiswa yang saat ini peminatnya semakin banyak. Salah satu pesannya mendorong pegiat perfilman untuk menciptakan film menggunakan bahasa daerah.
Hal itu disampaikan Wadek II usai mengikuti Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia, di Hotel Aryaduta Jakarta mulai Jumat hingga Minggu (24/11). Dalam Rakor itu, Jannah mewakili Dekan Fakultas Dakwah UIN KHAS Jember untuk andil memberikan masukan terkait kebijakan dan program penyensoran film di era media baru. Selain dari kalangan pendidik, juga hadir sebagai peserta dari para pemain film, pemerhati, 17 anggota LSF RI, dan masih banyak lagi.
“Salah satu rumusan konsep LSF dalam Rakornas adalah mendorong produksi film berbahasa daerah dan bertema budaya daerah. Hal ini untuk mengangkat potensi kekayaan budaya yang dimiliki daerah sebagai produk budaya andalan Indonesia, agar lebih dikenal secara meluas,” paparnya.
Selain itu, tambah Jannah, LSF juga mendorong masyarakat untuk menonton di gedung film. Jangan hanya menonton potongan dari guntingan film yang beredar di media sosial kemudian menilai produk film seadanya. Termasuk, dalam menonton film disarankan untuk menyesuaikan dengan umurnya. LSF mendorong adanya sensor mandiri untuk menguatkan karakter pemirsa agar menahan diri dari menonton tayangan tidak sesuai usia.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi instan gratifikasi, demi masa depan karakter mereka.
“Di sini peran orang tua sangat dibutuhkan dalam mengawasi maupun mendampingi tontonan yang sehat bagi anaknya,” pesannya.
Soal kategori umur penonton film, ada contoh menarik bisa dicontoh dari Thailand. Di negeri Gajah Putih itu kategori umur penonton tidak hanya ada empat seperti di Indonesia, melainkan ada tujuh kategori umur. Misalnya, di negeri kita tidak mengenal kategori usia 15 tahun tapi batasnya langsung 17 tahun. Padahal tontonan untuk usia 15 tahun yang beredar sekarang mayoritas ada adegan syurnnya.
Untuk memberi pemahaman seputar perfilman, panitia Rakornas juga mendatangkan Wakil Ketua Sensor Film RI Noorca M Massardi, Kepala Badan Standar Kurikulum Dikdasmen Kemendikbud Anindito Aditomo dan budayawan asal Thailand Pranisya. Dari forum itu juga diketahui mi nimnya film untuk kategori anak-anak. “Dari 204 produksi film nasional yang dinilai LSF, hanya 5 judul yang untuk penonton kategori semua umur. Ini menunjukkan kalau produksi film untuk anak-anak sangat minim,” papar Jannah.
Justru, tambahnya, yang banyak diproduksi adalah film jenis honor. “Menurut analisis Noorca M Massardi, masyarakat banyak menyukai film horor pasca pandemi Covid-19. Pemicunya karena rindu terhadap kengerian yang terjadi di era pandemi Covid,” ungkapnya. (*)
Koordinator Medicen Fada: Abdul Choliq
Penulis: Rizky Hidayatullah
Fotografer: Dok. Siti Raudhatul Jannah
Editor: Abdul Choliq, Firdaus, Nuzul Ahadiyanto